Silsilah Kerajaan Mataram Kuno – Nama sebuah kerajaan di wilayah Jawa Tengah pada tahun ke-8, kemudian memindahkan pusat kerajaan di tahun ke-10 di wilayah Jawa Timur.
Awalnya memiliki letak di wilayah Jawa Tengah. Wilayah Mataram dikelilingi dengan pegunungan seperti Pegunungan Serayu, Gunung Merbabu, Gunung Prau, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Ungaran, dan Gunung Lawu.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan menjelaskan yakni mengenai Silsilah Kerajaan Mataram Kuno. Yuukk… Simak ulasan selengkapnya sebagai berikut.
Bagaimanakah Silsilah Kerajaan Mataram Kuno ?
Jika teori sejarawan Slamet Muljana benar, berikut merupakan daftar lengkap raja-raja di kerajaan Medang dapat diringkas, ialah:
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
Rakai Mataram Ratu Sanjaya merupakan seorang penguasa yang pertama kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah, yang berkuasa dari 717 hingga 746 AD. Namanya dapat disebutkan dalam sebuah prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih serta dalam teks naskah Carita Parahyangan.
Prasasti Canggal menyatakan bahwa sebelum pengambilalihan Ratu Sanjaya, ada raja lain bernama Sanna, yang berkuasa di pulau Jawa. Setelah Sanna meninggal karena dia meninggal ketika diserang oleh musuh, situasi di Jawa menjadi kacau balau.
2. Dharanindra atau Indra
Dharanindra atau Indra merupakan Maharaja dari dinasti Sailendra, yang memerintah sekitar tahun 782 M, kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Medang, atau Mataram kuno. Namanya dicatat dalam sebuah prasasti yang disebut Prasasti Kelurak berjudul Sri Sanggrama Dhananjaya. Dipercaya bahwa Dharanindra telah berhasil menggulingkan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya dan memerintah dari Semenanjung Melayu ke daratan Indo-Cina.
Nama Maharaja Dharanindra tercatat pada tahun 782 dalam prasasti Kelurak. Dalam prasasti ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, yang berarti “memusnahkan musuh para perwira”. Julukan begitu sangat mirip dengan isi sebuah prasasti Nalanda Wirawairimathana dan isi prasasti Ligor B ialah Sarwwarimadawimathana.
3. Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana
Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana merupakan seorang raja kedua kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah. Dia berkuasa sekitar 770-an. Prasasti Kalasan abad ke-778 menyebutkan dalam sebuah prasasti ialah sebuah dokumen pelantikan tentang pembangunan candi Buddha yang disebut Tarabhavanam (Buana Tara) yakni sebagai memuja Dewi Tara.
Pembangunan dalam candi ini permintaan guru-guru Sailendra King. Dalam sebuah isi prasasti Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “Sailendra Dynasty Gem”. Kuil yang didirikan oleh Raja Rakai Panangkaran, dikenal yakni Candi Kalasan.
4. Sri Maharaja Rakai Warak
Sri Maharaja Rakai Warak merupakan seorang raja keempat dari kerajaan Medang atau kerajaan Mataram Lama dan Maharaja dari kerajaan Sriwijaya, yang memerintah sekitar pada tahun 802. Terdapat beberapa teori dengan sejarawan Slamet Muljana, yang telah berpendapat bahwa dalam sebuah nama asli Raja Rakai Warak ialah Samaragrawira, ayah dari Maharaja Balaputradewa, termasuk raja Kerajaan Sriwijaya.
Nama Samaragrawira terkandung dalam sebuah isi prasasti Nalanda sebagai seorang ayah Maharaja Balaputradewa dari sebuah Kerajaan Sriwijaya. Samaragrawira merupakan seorang putra dan dapat dijuliki dengan Wirawairimathana .
5. Rakai Garung
Rakai Garung merupakan seorang raja kelima dari sebuah kerajaan Mataram kuno dan anggota dinasti Sanjaya. Dia adalah penerus Raja Rakai Warak, yang pemerintahannya antara 828 dan 847. Nama Raja Rakai Garung tercatat dalam sebuah prasasti Wanua pusat III sebagai raja yang berkuasa di hadapan Raja Rakai Pikatan.
Menurut sejarawan de Casparis, seorang raja yang bernama Raja Rakai Garung identik isinya dengan prasasti Gandasuli dengan Dang Karayan Partapan Pu Palar. Dalam prasasti ini Dang Karayan mengadakan upacara sima. Nama Pu Palar tercantum dalam prasasti Karangtengah bersama dengan nama Samaratungga dan Pramodawardhani.
6. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang merupakan seorang raja yang kedelapan dari sebuah kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah, yang pemerintahannya sekitar dalam tahun 890-an. Maharaja Rakai Watuhumalang tidak dapat meninggalkan adanya sebuah bukti sejarah dalam bentuk tulisan atas namanya.
Dyah Balitung adalah seorang menantu Rakai Watuhumalang, yang berarti bahwa Rakai Watuhumalang adalah anak laki-laki atau menantu Rakai Pikatan, yang lahir oleh selir Rakai Watan Mpu Tamer. Maharaja Rakai Watuhumalang ialah seorang saudara dari tiri atau ipar dari Rakai Kayuwangi, dan termasuk raja sebelumnya.
7. Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku
Sri Maharaja Rakai Pikatan Mpu Manuku termasuk garis keturunan kuno kerajaan Mataram, raja keenam kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah sekitar 840-an hingga 856. Prasasti Wantil dibuat pada 12 November 856 sebagai Kuil Shiva.
Rakai Pikatan alias Rakai Mamrati telah turun tahta pada abad ke 856 di atas takhta gelar Jatiningrat dan telah menyerahkan suatu tahta kerajaan Medang putra bungsunya, yakni Dyah Lokapala atau dapat disebut dengan Rakai Kayuwangi.
8. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala Sri merupakan seorang raja ketujuh dari sebuah Kerajaan Medang dalam masa periode untuk wilayah Jawa Tengah atau dalam sebuah kerajaan Mataram Kuno, yang telah memerintah dalam 856-880-an. Rakai Kayuwangi merupakan seorang putra bungsu dari Raja Rakai Pikatan, yang telah dilahirkan dengan seorang Permaisuri yang bernama Pramodawardhani.
Tidak dapat diketahui dengan cara pasti kapan tahta Raja Rakai Kayuwangi jatuh. Menurut isi prasasti Mantyasih, raja tersebut telah mengejar Raja Rakai Kayuwangi Raja Rakai Watuhumalang. Dalam masa pemerintahan Raja Rakai Kayuwangi, yakni seorang Putra Mahkota yang bernama Rakai Hino bernama Mpu Aku.
9. Sri Maharaja Rakai Watukura
Sri Maharaja Rakai Watukura merupakan sebuah raja kesembilan dari kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah atau dalam sebuah kerajaan Mataram Kuno, yang telah pemerintahannya sekitar abad 899-1111. Dalam sebuah wilayah pada kerajaan meliputi Jawa Tengah, yakni temasuk dalam wilayah Jawa Timur dan Bali.
Dalam masa pemerintahan seorang Maharaja Dyah Balitung, dalam kerajaan Medang Palace tidak terletak di Mataram atau Mamrati, tetapi pindah ke Poh Pitu, yang bernama Yawapura. Ini disebabkan dengan adanya sebuah fakta bahwa bangunan Istana Mamratipura telah rusak parah karena terjadinya perang saudara dengan Rakai Kayuwangi serta Rakai Gurunwangi.
10. Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana
Sri Maharaja Rakai Layang Dscha Tulodong Sri Sajjana merupakan seorang raja kesebelas dari kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah atau kerajaan Mataram Lama yang memerintah antara abad ke-19 dan 24. Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodong telah menikahinya, untuk mendapatkan gelar Rakai Layang, dan bahkan dalam naik takhta yakni sabagai menggantikan mertuanya, yakni Mpu Daksa.
Sejarawan Boechari telah menyatakan dalam pendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta terhadap Maharaja Dyah Tulodong dan MPU Ketuwijaya. Terdapat sebuah saran bahwa kudeta ini didukung oleh Mpu Sindok, yang menjabat sebagai Rakai Halu, dan kemudian posisinya naik ke Rakai Hino.
11. Mpu Daksa
Mpu Daksa yakni termasuk garis sebuah keturunan dalam Kerajaan Mataram Lama, Raja kesepuluh Kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah atau Kerajaan Mataram Lama, yang memerintah sekitar 913-919 dan telah melahirkan gelar Sri Maharaja Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya Uttunggawijaya.
Mpu Daksa menjadi seorang raja dan akan menggantikan Maharaja Dyah Balitung, yakni sebagai saudara iparnya. Hubungan ini didasarkan pada kata Daksa, yang sering disebutkan dalam catatan beberapa prasasti bersama dengan istri Dyah Balitung.
12. Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa
Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa merupakan seorang raja dalam kedua belas dan termasuk raja terakhir dari kerajaan Medang pada masa Jawa Tengah atau kerajaan Mataram Kuno, yang memerintah antara abad ke-9 dan ke-29. Dyah Wawa adalah sepupu Dyah Bhumijaya, yakni seorang putra dari Maharaja Rakai Kayuwangi.
Karena itu, Dyah Wawa tidak memiliki klaim atas takhta Maharaja Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari telah mencurigai bahwa Dyah Wawa telah melakukan suatu kudeta terhadap Maharaja Dyah Tulodhong dari sebuah kerajaan Medang.
13. Sri Isyana Tunggawijaya
Sri Isyana Tunggawijaya merupakan seorang ratu ke empat belas dan ratu kerajaan Medang, yang memerintah sejak abad ke-9 dan memerintah bersama suaminya, Sri Lokapala. Nama itu adalah nama rumah Isyana, sebuah dinasti yang dibangun dengan ayahnya yang bernama Mpu Sindok, yang dalam pemerintahannya berada di wilayah Jawa Timur.
Ratu Sri Isyana Tunggawijaya merupakan seorang putri dari Maharaja Mpu Sindok. Tidak banyak sebuah peninggalan dalam sejarah mengenai pemerintahannya. Suaminya, Sri Lokapala, merupakan seorang bangsawan dari kerajaan Bali. Warisan sejarah atas nama Sri Lokapala adalah prasasti Gedangan abad ke-9, yang menyebutkan hadiah desa Bungur Lor dan desa Asana terhadap para pendeta Budha di wilayah Bodhinimba.
14. MPU Sindok
mpu sindok MPU Sindok merupakan seorang Kerajaan dari Mataram kuno dalam ketiga belas dan termasuk seorang raja pertama dalam sebuah Kerajaan Medang pada periode antara 929 dan 947 berjudul Sri Maharaja Rakai Hino dan Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mpu Sindok dapat dikatakan seorang pendiri dinasti baru yakni bernama Wangsa Isana.
Mpu Sindok dianugerahi gelar Rakai Mahamantri Halu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, sementara ia dipromosikan menjadi Rakai Mahamantri Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Dua posisi atau jabatan ini adalah posisi berpangkat tinggi yang hanya dapat ditransfer ke keluarga kerajaan.
15. Sri Makutawangsawardhana
Sri Makutawangsawardhana merupakan seorang raja dalam kelima belas dari sebuah kerajaan Medang yang memerintah sebelum era 1990-an. Dalam pemerintahan Makutawangsawardhana tidak dapat diketahui dengan pasti. Namanya terdapat di sebuah prasasti Pucangan yakni sebagai seorang kakek dari wilayah Maharaja Airlangga.
Dikatakan bahwa seroang Maharaja Makutawangsawardhana merupakan seorang putra dari pasangan yakni Ratu Sri Isana Tunggawijaya dan Sri Lokapala merupakan seorang putri dari Maharaja Mpu Sindok.
16. Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh
Anantawikramottunggadewa merupakan sebuah kerajaan dari Mataram kuno yang keenam belas dan raja yang terakhir dari sebuah kerajaan Medang, yang dalam pemerintahannya ialah pada tahun 1016 atau 991-1007. Dharmawangsa dikatakan telah menikahi seorang putrinya dengan pangeran yang bernama Airlangga dari sebuah kerajaan Bali.
Selama pernikahan, dalam Istana sebuah Kerajaan Medang tiba-tiba diserang dengan berbagai pasukan tentara dalam kerajaan dari Sriwijaya. Dalam istana Maharaja Dharmawangsa di wilayah kota Wwatan telah dibakar habis.
Baca Juga :
Demikian pembahasan yang telah kami sampaikan yakni mengenai Silsilah Kerajaan Mataram Kuno. Semoga ulasan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi Anda.